This Is My Life Style

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Semoga catatan harian ini dapat membantu saudara-saudaraku se-iman dan se-tanah air dalam melangkah. Catatan ini adalah hasil dari kebingungan dan kesenanganku dalam menghadapi hari-hari.

Mengkritik Quraish Shihab

Majalah Media Dakwah edisi Mei 2006 ini menampilkan satu laporan menarik tentang diskusi buku jilbab Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul: “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer.” Seperti dilaporkan wartawan Majalah Media Dakwah di Mesir, Mahir Moh. Soleh, diskusi itu diadakan oleh Forum Studi Al-Quran (Fordian) dan Senat Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah (SEMA FSI) pada hari Selasa, 28/3/06, di Aula Wisma Nusantara, Kairo, Mesir.


Acara ini mendapat apresiasi hangat mahasiswa
Indonesia di Mesir mengingat nama Quraish Shihab
memang sudah tidak asing bagi kaum Muslim Indonesia.
Tafsirnya, Al-Misbah, mendapatkan perhatian dan
promosi yang sangat luas. Bagi kalangan kaum Muslim,
Quraish Shihab juga sudah dikenal dengan pendapatnya
yang ‘ganjil’ tentang jilbab; bahwa jilbab – dalam
arti pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali muka
dan telapak tangan -- tidak wajib dikenakan oleh
wanita muslimah. Salah satu putrinya, yang seorang
presenter TV, pernah diangkat profilnya oleh sebuah
majalah liberal dengan tema “menjadi wanita terhormat
tanpa jilbab”.
Ketika saya berkunjung ke Mesir, Februari lalu,
cerita tentang pendapat Quraish Shihab soal jilbab ini
juga sudah banyak diutarakan oleh kalangan mahasiswa
Indonesia di Kairo. Di dalam buku inilah, Quraish
Shihab memaparkan pendapatnya dengan cukup terperinci
tentang jilbab. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Studi
Quran dan Lentera Hati (cetakan I, Juli 2004).
Di halaman 165-167, kita bisa membaca kesimpulan
pendapat Quraish Shihab tentang jilbab:
“Ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakain
wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan
hadits-hadits yang merupakan rujukan utama dan yang
dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak meyakinkan
pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok
yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda.
Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang
batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari
wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang
nilai kesahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan
batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan
bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi
dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni
dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti bersumber
dari al-Quran dan Sunnah Rasul saw, tentu mereka tidak
akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar
mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas
itu.
Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam
konteks situasi zaman serta kondisi masa dan
masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan
nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas,
pasti dan tegas. Di sini, tidaklah keliru jika
dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan
salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus
menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan….
Memang harus diakui, bahwa kebanyakan ulama masa
lampau bahkan hingga kini, cenderung berpendapat bahwa
aurat wanita mencakup seluruh tubuh kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya. Akan tetapi, harus pula
diakui, bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar
disamping kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan
keluarga ulama yang terpandang yang wanita-wanitanya –
baik anak maupun istri – tidak mengenakan jilbab. Di
Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat
Nahdhatul Ulama, atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih
sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu saja para ulama
kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu
memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya,
sehingga praktek yang mereka lakukan itu – apalagi
tanpa teguran dari para ulama – boleh jadi dapat
dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang
menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita
adalah menampilkan mereka dalam bentuk terhormat,
sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang
usil.” (hal. 165-167).

Begitulah pendapat Quraish Shihab tentang jilbab.
Pendapat Quraish itu tentu saja merupakan pendapat
yang ‘aneh’ dan ‘ganjil’ di lingkungan ulama Islam.
Pendapat itulah yang dikupas habis-habisan oleh para
pakar tafsir dan syariah di dalam acara bedah buku di
Kairo tersebut. Pembedah buku adalah tiga intelektual
muda, dari tiga disiplin ilmu yang berbeda, dan dari
organisasi yang berbeda (NU, Muhammadiyah, dan
Persis): Dr. Muchlis M.Hanafi, MA. (Doktor Tafsir dan
Ilmu al-Quran, lulusan al-Azhar Kairo), A.Zain
An-Najah, MA. (Mahasiswa Program Doktoral bidang
Fikih, al-Azhar), dan Aep Saepulloh, S.Ag (Mahasiswa
Program Magister, Jurusan Ushul Fikih, al-Azhar).
Acara dimoderatori oleh Romli Syarqowi, S.Ag
(Mahasiswa Program Magister, Jurusan Tafsir,
al-Azhar).
Dalam acara yang berdurasi kurang lebih tiga jam ini,
pembedah berhasil tampil cukup kritis dan analitis.
Selain mendapatkan apresiasi, buku Quraish Syihab juga
tak luput dari kritikan tajam pembedah dan peserta.
Lain dengan Quraish Syihab yang tidak bersikap tegas,
ketiga pembedah sepakat bahwa mengenakan jilbab
hukumnya wajib bagi wanita muslimah. "Kewajiban
berjilbab dengan ketentuan tertentu, didasari atas
dalil dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat, jika
tidak ingin mengatakan qhathi' (yakin)," kata Muchlis
Hanafi.
Aep Saepulloh, mahasiswa asal Ciamis yang juga
penasihat Perwakilan PERSIS Mesir mengungkapkan tujuh
catatan kritis untuk Quraish Shihab. Diantaranya,
kekurangtepatan Quraish Shihab dalam mengutip atau
menyandarkan pendapat, kekeliruan dalam penerjemahan
istilah-istilah seperti tangan dan telapak tangan,
dll. Menurutnya, dalam membedah karya seseorang adalah
dengan cara Ta’shil Maraji’ yaitu dengan melihat
kembali sumber asli yang ditunjukkan oleh penulis
sehingga terlihat keakuratan data yang disampaikan.
Aep menyoroti bahwa menurut buku itu, seolah-olah
tidak ada kata sepakat tentang batasan aurat wanita,
dikarenakan perbedaan pendapat diantara para ulama
dalam hal ini. Padahal, yang dijadikan rujukan utama
oleh Quraish Shihab dalam masalah ‘perbedaan’ ini
adalah pemikir sekular Mesir yang bernama Muhammad
Said al-'Asymawi. Bahkan ia satu-satunya yang dimaksud
Quraish dalam bukunya. Bahkan sebagian besar buku ini,
30 persen adalah pendapat Asymawi yang terdapat dalam
bukunya Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits.
Kritik Aep ini sangat penting, sebab Asymawi bukanlah
pakar yang otoritatif dalam bidang Syariat Islam, yang
sepatutnya tidak disejajarkan oleh Quraish Shihab
dengan para ulama-ulama besar yang otoritatif di
bidangnya. Asymawi pun juga dikenal sebagai tokoh
pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif
tiap-tiap agama. Dalam sebuah tulisannya dia mencatat,
bahwa perbedaan bentuk agama-agama hanyalah soal
perbedaan verbal, perbedaan interpretasi linguistik,
dan perbedaan sikap filosofis. Manusia percaya kepada
huruf dan berbeda pendapat tentang huruf dan tidak
mempunyai definisi yang pasti tentang huruf dan tidak
menjauhkan iman dari huruf. (If we analyze the
disagreements between the different forms of religion
we will find that they are mainly verbal disagreement,
linguistic interpretations and philosophical
attitudes. People believe in words and differ about
words, without having a precise defintion of words and
without keeping the faith away from words). (Lihat,
Muhammad Sa’id al-Ashmawy, “Islam, Judaism,
Christianity: One Religion, One Vision, Many Paths”
dalam Against Islamic Extremism, (Gainesville:
University Press of Florida, 1998), hal. 56-57).
Cara pandang ‘hermeneutis’ Asymawi itu menunjukkan
bagaimana dia percaya pada relativisme tafsir. Karena
itu, wajar jika dia termasuk yang tidak percaya
tentang adanya ayat yang qath’iy. Semuanya bisa
ditafsirkan sesuai dengan kehendak mufassir dan
situasi tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah ayat
tentang jilbab yang boleh ditafsirkan sekehendaknya.
Dalam Majalah Media Dakwah juga disebutkan kritik
Zain an-Najah, ketua Majlis Tarjih di PCI
Muhammadiyah Mesir. Zain juga membahas tentang
qadhiyah jilbab dan cadar. Menurutnya pakaian dapat
dinilai sebagai barometer keimanan yang sudah diatur
dalam tata nilai Islam karena tujuannya tiada lain
untuk menutup aurat dan juga keindahan. Zain
menegaskan perlunya membedakan antara ‘illat dan
hikmah yang seringkali dijadikan landasan untuk
mengistinbath hukum, terlebih dengan hukum jilbab.
Zain an-Najah sendiri berharap agar semua sedapat
mungkin mengajak wanita muslimah yang belum menutup
auratnya untuk menggunakan jilbab dan pakaian yang
sesuai dengan adab yang telah ditetapkan oleh syariat.

Muchlis Hanafi yang juga Katib Aam PCI NU Mesir,
menjelaskan, dalam persoalan jilbab, praktek para
shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah
bahkan dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin,
serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi,
secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah bahwa
yang dimaksud dalam ayat hijab dan jilbab adalah,
bahwa para wanita harus menutup seluruh anggota badan,
tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah, kedua
telapak tangan, ditambah kelonggaran sedikit; setengah
tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Tidak
ditemukan pandangan ulama yang diakui otoritas
keilmuannya yang berpendapat rambut, leher, betis dan
lainnya boleh dibuka, tambah Muchlis.
Muchlis juga mengkritik pendapat Asymawi yang
mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewajiban
jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada
asbabun nuzul-nya), dan konteks ini hendaknya harus
menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum. Ada
dua hal yang membantah pendapat Asymawi. Pertama,
rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab
dalam surah an-Nur dan al-Ahzab, menunjukan bahwa
alasan diwajibkannya memakai jilbab adalah demi
al-Hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap
terpuji), bukan sekedar untuk membedakan mana wanita
merdeka dan mana yang hamba sahaya. Kedua, Istilah
asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al-Quran),
dalam tradisi Ulama Islam tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang
berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya
tidak turun. Tapi lebih berperan sebagai
peristiwa/audio visual (alat peraga) yang mengiringi
turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat
al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak
bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri.
Sebab lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk
makna yang telah jelas digunakan pemakainya, tidak
bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna lain, kecuali
didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup
kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal
Aep Saepulloh, dalam catatan akhirnya, menginginkan
agar Quraish tidak menerbitkan buku sebatas
mendeskripsikan pendapat sementara “ulama” yang kurang
otoritatif pada bidangnya seperti Syahrur, Asymawi,
Nawal Sa’dawi atau yang lainnya yang memang tidak
memiliki basic fikih yang memadai. Sedangkan Zain
sangat menyayangkan sikap Quraish yang tawaquf .
“Kehati-hatian memang sangat diperlukan namun
kebimbangan yang berkepanjangan kurang tepat apalagi
jika qadiyah yang sudah dibahas oleh para ulama yang
diakui otoritas keilmuannya (mu'tabar),” tuturnya.
Itulah kritik yang tajam dari para cendekiawan muda
kita di Mesir terhadap Quraish Shihab, seperti
dolaporkan Majalah Media Dakwah.
Memang sangat disesalkan, di tengah-tengah maraknya
kaum Muslimah untuk berjilbab, Pusat Studi Quran yang
dipimpin Quraish Shihab malah meluncurkan buku Quraish
Shihab yang hujjahnya begitu lemah. Dalam soal jilbab
ini, terkesan kuat, Quraish Shihab mencari-cari dalil
yang longgar, meskipun bukan dari sumber yang
otoritatif. Misalnya, dari banyaknya keluarga ulama di
Indonesia, juga dari sebagian kalangan Muslimat NU dan
Aisyiah, yang tidak berjilbab.
Padahal, sikap resmi Muhammadiyah sendiri tidak
seperti itu. Dalam buku Tanya Jawab Agama dari Tim PP
Muhammadiyah dan Tarjih yang diterbitkan oleh Suara
Muhammadiyah (1997), bahkan ditunjukkan contoh pakaian
yang harus dikenakan seorang Muslimah, yakni yang
menutup leher dan dada dan hanya menampakkan wajah dan
telapak tangan. Wallahu a’lam.