This Is My Life Style

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Semoga catatan harian ini dapat membantu saudara-saudaraku se-iman dan se-tanah air dalam melangkah. Catatan ini adalah hasil dari kebingungan dan kesenanganku dalam menghadapi hari-hari.

Aku GeMbiRa..... (^_^)

Hahaha awal bulan, tanggal 1 Oktober,,.,.,.,., hhahahahaha..
Ini adalah tanggal yang cukup penting buat aku. Setahun yang lalu aku kejatuhan Jasmine pada tanggal ini....Huuuuu Huuuuu....

Seneng banget rasanya aku bisa lewati 1 tahun. Aku berharap ini bukan hanya 1 tahun tapi selaaaamaaanyaaa. Oh iya, awal bulan juga aku baru bisa browsing internet, maklumlah kantor aku agak pelit sih (emang pelit) bisa browsing cuma di awal bulan, padahal yang atur server internetnya aku loh..

Alhamdulillah, Jum'at lalu tanggal 29 September o6 aku mendapat berita gembira dari orang tuaku. Hal yang aku nantikan akhirnya terucap juga walaupun terdengar berat..
Tapi aku bersyukur akhirnya aku mendapat restu dari Ibu untuk memilikinya...Yyeeeee..

Novita Astri Istiqomah, dialah Jasmine-ku... Sekarang aku tinggal berusaha untuk memilikinya dengan sepenuhnya dan seutuhnya... Teman-teman Do'akan aku ya agar niat baikku dengannya dapat terwujud tanpa hambatan lagi...

Ya Allah ringankan Cobaanku dan Lancarkanlah Rizkiku...Amien

Cara Menyucikan Hati

Hati itu bagaikan kaca mata. Kalau kita menggunakan kaca mata yang bening,
apa yang kita lihat akan tampak apa adanya. Yang putih akan jelas putihnya, yang coklat muda akan jelas warna aslinya. Namun kalau kita menggunakan kaca mata hitam, apa yang kita lihat tidak akan sesuai aslinya. Yang putih akan kelihatan abu muda dan warna coklat muda akan menjadi coklat tua. Demikian juga hati, kalau hati jernih, kita akan melihat realita itu apa adanya, sementara kalau hati kita kotor atau hitam, kita akan melihat realita itu tidak seperti sebenarnya.


Oleh karena itu, mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.
ِانَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (اخرجه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-hata kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (H.R. Muslim).

Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkankannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya.
Ada kemungkinan di balik pekerjaan saleh yang lahiriah itu, ternyata di hatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan dimurkai Allah swt. Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata di hatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah swt. memaafkannya.


Sesungguhnya perbuatan-perbuatan lahir itu hanya merupakan tanda-tanda dhanniyyah (yang diperkirakan) bukan qath’iyyah (bukti-bukti yang pasti). Oleh karena itu tidak diperkenankan berlebih-lebihan dalam menyanjung seseorang yang kita saksikan tekun melaksanakan amal saleh, sebagaimana tidak diperbolehkan pula menistakan seorang muslim yang kita pergoki melakukan perbuatan buruk atau maksiat. Demikian Imam Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya.
Rasulullah saw. bersabda dalam riwayat lain,
عَنْ عَلِيِّى بْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَى اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنَ الْقُلُوْبِ قَلَّبَ إِلاَّ وَلَهُ سَحَابَةٌ كَسَحَابَةِ الْقَمَرِ، بَيْنَمَا الْقَمَرُ مضئى إِذْ عَلَتْهُ سَحَابَةٌ فَأَظْلَمَ، إِذْ تَجَلَّتْ عَنْهُ فَأَضَاءَ (البخارى ومسلم)
“Ali bin Abi Thalib r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (H.R.Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia itu sesungguhnya bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan kemaksitan hingga sinarnya menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang menutupi cahaya hati kita. Bagaimana caranya?
1. Introspeksi diri
Introspeksi diri dalam bahasa arab disebut Muhasabatun Nafsi, artinya mengidentifikasi apa saja penyakit hati kita. Semua orang akan tahu apa sebenarnya penyakit qalbu (hati) yang dideritanya itu.
يـَاأَيُّـهَـا الَّذِيْـنَ ءَامَـنُـوْا اتَّـقُـوْا اللهَ وَلْتَـنْـظُـرْ نَـفْـسٌ مَّاقَـدَّمَتْ لِغَـدٍ وَاتَّــقُـوْا اللهَ. إِنَّ اللهَ خَـبِـيْرٌ بِـمَا تَـعْـمَلُـوْنَ {الحشر 18:59}
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Hasyr 59 : 18)

2. Perbaikan Diri
Perbaikan diri dalam bahasa populer disebut taubat. Ini merupakan tindak lanjut dari introspeksi diri. Ketika melakukan introspeksi diri, kita akan menemukan kekurangan atau kelemahan diri kita. Nah, kekurangan-kekurangan tersebut harus kita perbaiki secara bertahap. Alangkah rugi kalau kita hanya pandai mengidentifikasi kelemahan diri tapi tidak memperbaikinya.
يَـآأَيُّـهَـا الَّذِيْـنَ ءَامَـنُـوْا تُـوْبُـوْا إِلَى اللهِ تَـوْبَـةً نَّـصُـوْحًـا عَسَى رَبُّـكُمْ أَنْ يُّـكَـفِّـرْ عَـنْـكُمْ سَـيِّـئَـاتِـكُـمْ وَيُـدْخِـلَـكُمْ جَـنّـتٍ تَـجْـرِى مِنْ تَـحْـتِهَـا اْلأَنْـهَارِ ....{التحريم 8:66}
"Hai orang-orang yang beriman, Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkah kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,..” (Q.S.At-Tahrim 66:8)

3. Tadabbur Al Qur’an
Tadabbur Al Qur’an artinya menelaah isi Al-Qur’an, lalu menghayati dan mengamalkannya. Hati itu bagaikan tanaman yang harus dirawat dan dipupuk. Nah, di antara pupuk hati adalah tadabbur Qur’an. Allah menyebutkan orang-orang yang tidak mau mentadabburi Qur’an sebagai orang yang tertutup hatinya. Artinya, kalau hati kita ingin terbuka dan bersinar, maka tadabburi Qur’an.
أَفَلاَ يَـتَـدَبَّـرُْنَ الْـقُـْرآنَ اَمْ عَلَى قُلـُوبٍ أَقْـفَـالُهَـا {محمد 24:47}
“Mengapa mereka tidak tadabbur (memperhatikan) Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci atau tertutup.” (Q.S.Muhammad 47 : 24)

4. Menjaga Kelangsungan Amal Saleh
Amal saleh adalah setiap ucapan atau perbuatan yang dicintai dan diridoi Allah swt. Apabila kita ingin memiliki hati yang bening, jagalah keberlangsungan amal saleh sekecil apapun amal tersebut. Misalnya, kalau kita suka rawatib, lakukan terus sesibuk apapun, kalau kita biasa pergi ke majelis ta’lim, kerjakan terus walau pekerjaan kita menumpuk. Rasulullah saw bersabda,
… اِعْـمَــلُوْا عَلَى مَاتُــطِـْيقُـوْنَ فَإِنَّ اللهَ لاَيـَـمَلُّ حَتَّى تَـمَـلَّ وَاَنَّ اَحَـبَّ اْلاَعْـمَـالِ اِلىَ اللهِ اَدْوَمُـهَا وَاِنْ قَـلَّ {رواه البخارى}
"…Beramallah semaksimal yang kamu mampu, karena Allah tidak akan bosan sebelum kamu bosan, dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang kontinyu (terus-menerus) walaupun sedikit." (H.R. Bukhari)

5. Mengisi Waktu dengan Zikir
Zikir artinya ingat atau mengingat. Dzikrullah artinya selalu mengingat Allah. Ditinjau dari segi bentuknya, ada dua macam zikir. Pertama, zikir Lisan, artinya ingat kepada Allah dengan melafadzkan ucapan-ucapan zikir seperti Subhannallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa Ilaaha illallah, dll. Kedua, Zikir Amali, artinya zikir (ingat) kepada Allah dalam bentuk penerapan ajaran-ajaran Allah swt. dalam kehidupan. Misalnya, jujur dalam bisnis, tekun saat bekerja, dll. Hati akan bening kalau hidup selalu diisi dengan zikir lisan dan amali.
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا .وَسَبِّحُوْاهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلاً {الاحزاب 33: 41-42}
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Q.S.Al-Ahzab 33 : 41-42)
فَاذْكُرُوْنِى أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْالِى وَلاَتَكْفُرُوْنَ {البقرة 152:2}
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah 2 :152)

6. Bergaul dengan Orang-Orang Saleh
Lingkungan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Karena itu, kebeningan hati erat juga kaitannya dengan siapakah yang menjadi sahabat-sahabat kita. Kalau kita bersahabat dengan orang yang jujur, amanah, taat pada perintah Allah, tekun bekerja, semangat dalam belajar, dll., diharapkan kita akan terkondisikan dalam atmosfir (suasana) kebaikan. Sebaliknya, kalau kita bergaul dengan orang pendendam, pembohong, pengkhianat, lalai akan ajaran-ajaran Allah, dll., dikhawatirkan kita pun akan terseret arus kemaksiatan tersebut. Kerena itu, Allah swt.. mengingatkan agar kita bergaul dengan orang-orang saleh seperti dikemukakan dalam ayat berikut.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَوَاةِ وَالْعَشِيِّى يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ. وَلاَتَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا وَلاَتُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا {الكهف 18 : 28}
“Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di waktu pagi dan petang, mereka mengharapkan keridoan-Nya, dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena menghendaki perhiasan hidup dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya; dan adalah keadaan itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi 18 : 28)

7. Berbagi Kasih dengan Fakir, Miskin, dan Yatim
Berbagi cinta dan ceria dengan saudara-saudara kita yang fakir, miskin, dan yatim merupakan cara yang sangat efektif untuk meraih kebeningan hati, sebab dengan bergaul bersama mereka kita akan merasakan penderitaan orang lain. Rasulullah saw. bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَى اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاُ شَكَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ لَهُ: إِنْ أَرَدْتَ تَلْيِيْنَ قَلْبِكَ فَأَطْعِمِ الْمِسْكِيْنَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيْمِ (رواه احمد)
“Abu Hurairah r.a. bercerita, bahwa seseorang melaporkan kepada Rasulullah saw. tentang kegersangan hati yang dialaminya. Beliau saw. menegaskan, “Bila engkau mau melunakkan (menghidupkan) hatimu, beri makanlah orang-orang miskin dan sayangi anak-anak yatim.” (H.R. Ahmad).

8. Mengingat Mati
Modal utama manusia adalah umur. Umur merupakan bahan bakar untuk mengarungi kehidupan. Kebeningan hati berkaitan erat dengan kesadaran bahwa suatu saat bahan bakar kehidupan kita akan manipis dan akhirnya habis. Kesadaran ini akan menjadi pemacu untuk selalu membersihkan hati dari awan kemaksiatan yang menghalangi cahaya hati. Rasulullah saw. menganjurkan agar sering berziarah supaya hati kita lembut dan bening.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَى اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا، فَإِنَّهَا تَرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ اْلأخِرَةَ (رواه الحاكم)
“Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dulu, aku pernah melarang kalian berziarah ke kuburan. Namun sekarang, berziarahlah, karena ia dapat melembutkan hati, mencucurkan air mata, dan mengingatkan akan hari akhirat.” (H.R.Hakim)

9. Menghadiri Majelis Ilmu
Hati itu bagaikan tanaman, ia harus dirawat dan dipupuk. Di antara pupuk hati adalah ilmu. Karena itu, menghadiri majelis ilmu akan menjadi media pensucian hati. Rasulullah saw. menyebutkan bahwa Allah swt. akan menurunkan rahmat, ketenangan dan barakah pada orang-orang yang mau menghadiri majelis ilmu dengan ikhlas.
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةِ وَغَشِيَتْهُمً الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ {رواه مسلم }
“Tidak ada kaum yang duduk untuk mengingat Allah, kecuali malakikat akan menghampirinya, meliputinya dengan rahmat dan diturunkan ketenangan kepada mereka, dan Allah akan menyebutnya pada kumpulan (malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim)

10. Berdo’a kepada Allah swt.

Allah swt. Maha Berkuasa untuk membolak balikan hati seseorang. Karena itu sangat logis kalau kita diperintahkan untuk meminta kepada-Nya dijauhkan dari hati yang busuk dan diberi hati yang hidup dan bening. Menurut Ummu salamah r.a,. do’a yang sering dibaca Rasulullah saat meminta kebeningan hati adalah: Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (Wahai yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah hatiku berpegang pada agama-Mu). Perhatikan riwayat berikut,.
عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ قَالَ : قُلْتُ لأُمِّ سَلَمَةَ، يَاأُمَّ الْمُؤْمِنيْنَ مَاكَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ يَامُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِيْنِكَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، مَاأَكْثَرُ دُعَائِكَ يَامُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِيْنِكَ؟ قَالَ: يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ. فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ (اخرجه احمد)

“Syahr bin Hausyab r.a. mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai ibu orang-orang yang beriman, do’a apa yang selalu diucapkan Rasulullah saw. saat berada di sampingmu?” Ia menjawab: “Do’a yang banyak diucapkannya ialah, ‘Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (Wahai yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah qalbuku pada agama-Mu).” ” Ummu Salamah melanjutkan, “Aku pernah bertanya juga, “Wahai Rasulullah, alangkah seringnya engkau membaca do’a: “Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika.” Beliau menjawab: “Wahai Ummu Salamah, tidak ada seorang manusia pun kecuali qalbunya berada antara dua jari Tuhan Yang Maha Rahman. Maka siapa saja yang Dia kehendaki, Dia luruskan, dan siapa yang Dia kehendaki, Dia biarkan dalam kesesatan.” (H.R.Ahmad dan Tirmidzi. Menurutnya hadits ini hasan)


Selain do’a di atas, Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa ketika menginap di rumah Rasulullah saw., ia pernah mendengar beliau mengucapkan do’a berikut,
اَللّهُمَّ اجْعَلْ فِى قَلْبِى نُوْرًا وَفِى لِسَانِى نُوْرًا وَاجْعَلْ فِى سَمْعِى نُوْرَا وَاجْعَلْ فِى بَصَرِى نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِى نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِى نُوْرًا اَللّهُمَّ أَعْطِنِى نُوْرًا (رواه مسلم)
“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di lidahku cahaya, di pendengaranku cahaya, di penglihatanku cahaya. Jadikan di belakangku cahaya, di hadapanku cahaya, dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya. Ya Allah berikan kepadaku cahaya.” (H.R.Muslim)


Kesimpulannya, hati merupakan panglima untuk seluruh anggota jasad kita. Kalau hati bening, kelakuan kita pun akan beres. Tapi kalau hati kita busuk, seluruh amaliah pun busuk. Ada sepuluh cara agar kita memiliki hati yang suci, yaitu; Introspeksi diri, perbaikan diri, tadabbur Qur’an, menjaga kelangsungan amal saleh, mengisi waktu dengan zikir, bergaul dengan orang-orang saleh, berbagi kasih dengan fakir miskin dan anak yatim, mengingat mati, menghadiri majelis ta’lim, dan berdo’a kepada Allah swt. Mudah-mudahan Allah swt. selalu memberi kepada kita hati yang bening. Amiin . Wallahu A’lam

Power of Love......

Andai di dunia ini tidak ada cinta, maka hidup akan serasa gersang, hampa dan tidak ada dinamika. Cinta bisa membuat sesuatu yang berat menjadi ringan, yang sulit menjadi sederhana, permusuhan menjadi perdamaian dan yang jauh menjadi dekat. Itulah gambaran kekuatan cinta.


Cinta, ditilik dari sudut manapun selalu menarik untuk dibahas. Sejarah mencatat, sejumlah seniman, teolog sampai filosop membicarakan cinta dari berbagai perspektifnya baik dalam bentuk roman, puisi, syair bahkan sampai dalam bentuk tulisan ilmiah yang bernuansa teologis, fenomenologis, psikologis ataupun sosiologis.
Filosop sekaliber Plato bahkan pernah mengatakan “Siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan dalam gelap gulita”. Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian Plato pada masalah cinta, sampai-sampai dia menyebut orang yang tidak tertarik untuk membicarakannya sebagai orang yang berjalan dalam kegelapan.
Peranan cinta dalam kehidupan tidak diragukan lagi pentingnya. Cinta diyakini sebagai dasar dari perdamaian, keharmonisan, ketentraman, kebahagiaan bahkan kebangkitan peradaban. Namun apa sesungguhnya cinta itu ?
Diakui, problem yang dihadapi saat membicarakan cinta biasanya adalah persoalan definisi. Belum pernah ditemui suatu rumusan tentang cinta yang singkat, padat dan mewakili pemahaman akan hakikat cinta secara tepat.


Jalauddin Rumi pernah mengatakan bahwa cinta itu misteri, tidak ada kata-kata yang bisa mewakili kedalamannya.
Cinta tak dapat termuat dalam pembicaraan atau pendengaran kita,
Cinta adalah sebuah samudera yang kedalamannya tak terukur …
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan,
buku-buku dan lembaran-lembaran halaman.
Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pecinta.
Apapun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya;
Intisari cinta adalah misteri yang tak dapat kau buka !
Cukuplah ! Berapa banyak lagi kau akan lengketkan kata-kata di lidahmu ?
Cinta memiliki banyak penyataan melampaui pembicaraan. . .


Oleh sebab itu, disini kita tidak akan mendefinisikan cinta karena khawatir mereduksi kedalamannya. Biarlah cinta berbicara dalam perbuatan kita. Disini, kita akan mencoba mencermati unsur-unsur yang selalu ada dalam cinta.


Erich fromm, murid kesayangannya Sigmund Freud menyebutkan empat unsur yang harus ada dalam cinta, yaitu :

1. Care (perhatian). Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesehatan dan kebersihan diri. Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya. Kalau kita mencintai Allah Swt., maka kita akan memperhatikan apa saja yang Allah ridhai dan yang dimurkai-Nya.
2. Responsibility (tanggung jawab). Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab akan kemajuan perusahaannya. Orang yang mencintai Tuhannya, akan bertanggung jawab untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itulah Responsibility.
3. Respect (hormat). Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai, kelebihannya kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki. Tidak bersikap sewenang-wenang dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect.
4. Knowledge (pengetahuan). Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Kalau kita mencintai seorang wanita atau pria untuk dijadikan isteri atau suami, maka kita harus berusaha memahami kepribadian, latar belakang keluarga, minat, dan ketaatan beragamanya. Kalau kita mencintai Tuhan, maka harus berusaha memahami ajaran-ajaran-Nya.

Kalau empat unsur ini ada dalam kehidupan kita, Insya Allah hidup ini akan bermakna. Apapun yang kita lakukan, kalau berbasiskan cinta pasti akan terasa ringan. Karena itu nabi Saw pernah bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang kalau dia belum mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sensiri”. “ Cintai oleh mu mahluk yang ada di muka bumi, pasti Allah akan mencintaimu”. (HR. Muslim)
Supremasi kebahagiaan tertinggi, kalau kita mampu mencintai orang lain dengan tulus tanpa pamrih, mencintai diri sendiri secara proporsional, mencintai Allah Swt dengan penuh loyalitas dan selalu merasa dincintai-Nya. Inginkah hidup kita bermakna ? Let Love be Your Energy ! Selamat bercinta !

Kewajiban Istri kepada Suami

Ustadz, pada MaPI edisi 04 April 2001 ada pertanyaan tentang kewajiban suami kepada istri. Nah, saya ingin menanyakan sebaliknya, apa kewajiban isrri kepada suami. Mohon penjelasan.

chuprex@walla.com


Jawab : Apabila kita ingin membangun rumah tangga yang penuh mawaddah dan rahmah alias penuh ketentraman dan kedamaian, maka suami dan istri harus pandai melaksanakan kewajibannya masing-masing, jangan hanya pintar menuntut hak sementara kewajiban diabaikan. Pada MaPI edisi 04 April 2001 sudah dibahas kewajiban suami terhadap isrri. Sekarang, apa kewajiban isrri kepada suami?

Kewajibannya adalah:


1. Menjaga amanah

Amanah yang ada di tangan istri berupa harta, anak, dan kehormatan. Isrri wajib mengatur harta yang diterima dari suaminya agar bisa digunakan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan keluarga. Sikap boros merupakan cerminan dari isrri yang tidak bisa menjaga amanah (harta suami).

Istri wajib mencurahkan tenaga, pikiran, dan perasaan dalam mendidik anak agar menjadi shaleh, karena dia merupakan amanah Allah. Istri yang kurang memperhatikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya merupakan gambaran istri yang tidak mampu menjaga amanah (anak).

2. Istri wajib menjaga kehormatan dirinya, ia tidak dibenarkan menjalin “keakraban” dengan lelaki lain.


“...sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri di balik suaminya (saat suami tidak ada) oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (Q.S. An-Nisa : 34)

Ayat ini menegaskan bahwa istri yang shaleh itu taat kepada perintah-perintah Allah dan menjaga amanah suaminya berupa anak, harta, dan kehormatan.

3. Menjaga penampilan agar tetap menarik

Rasulullah saw. bersabda:
“Sebaik-baik isrri ialah bila engkau pandang menyenangkan, bila engkau perintah ia taat kepadamu, dan bila engkau tidak ada di sisinya, ia bisa menjaga kehormatan dan harta.”

4. Mensyukuri segala sesuatu yang diberikan suami

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagai manusia, dalam diri suami tentu terdapat kekurangan dan kelebihan. Istri wajib menghargai kelebihan suami dan menerima segala kekurangannya. Oleh sebab itu, kalau suatu saat suami melakukan kekeliruan atau kealfaan, istri tidak boleh melupakan segala kebaikan suami.

Nabi saw. menyebutkan dalam hadits riwayat Bukhari, bahwa di akhirat banyak wanita yang masuk neraka karena suka melupakan kebaikan suami pada saat suami melakukan kekeliruan, seolah-olah suami belum pernah berbuat kebaikan sedikit pun. Silakan perhatikan keterangan berikut.

“Neraka pernah diperlihatkan kepadaku, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum perempuan, yaitu mereka yang tidak tahu berterima kasih kepada suami. Andaikata engkau (suami) berbuat baik kepada seseorang di antara mereka setahun, kemudian ia melihat sedikit cela padamu, maka ia akan mengatakan: Saya tak pernah melihat sedikit pun kebaikan darimu.” (H.R. Bukhari).


Bertolak dari keterangan-keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pertama, istri wajib mentaati segala perintah suami selama perintahnya benar. Kedua, isrri wajib memelihara amanat suami berupa harta, anak, dan kehormatan. Ketiga, Istri sebaiknya tetap menjaga penampilan agar enak dilihat suami. Keempat, istri wajib mensyukuri segala kebaikan suami. Wallahu A’lam.

Cewek Jaman Sekarang Bilang Tentang Cowok...

cewek bilang tentang cowo

Kalo cowok ganteng pendiam
cewek-cewek bilang: woow, cool banget...
kalo cowok jelek pendiam
cewek-cewek bilang: ih kuper...

kalo cowok ganteng jomblo
cewek-cewek bilang: pasti dia perfeksionis
kalo cowok jelek jomblo
cewek-cewek bilang: sudah jelas...kagak laku...

kalo cowok ganteng berbuat jahat
cewek-cewek bilang: nobody's perfect
kalo cowok jelek berbuat jahat
cewek-cewek bilang: pantes...tampangnya kriminal

kalo cowok ganteng nolongin cewe yang diganggu preman
cewek-cewek bilang: wuih jantan...kayak di filem-filem
kalo cowok jelek nolongin cewe yang diganggu preman
cewek-cewek bilang: pasti premannya temennya dia...

kalo cowok ganteng dapet cewek cantik
cewek-cewek bilang: klop...serasi banget...
kalo cowok jelek dapet cewek cantik
cewek-cewek bilang: pasti main dukun...

kalo cowok ganteng diputusin cewek
cewek-cewek bilang: jangan sedih, khan masih ada aku...
kalo cowok jelek diputusin cewek
cewek-cewek bilang:...(terdiam, tapi telunjuknya meliuk-liuk dari atas ke bawah, kasian deh loe )...

kalo cowok ganteng penyayang binatang
cewek-cewek bilang: perasaannya halus...penuh cinta kasih
kalo cowok jelek penyayang binatang
cewek-cewek bilang: sesama keluarga emang harus menyayangi...

kalo cowok ganteng bawa BMW
cewek-cewek bilang: matching...keren luar dalem
kalo cowok jelek bawa BMW
cewek-cewek bilang: mas majikannya mana?...

kalo cowok ganteng males difoto
cewek-cewek bilang: pasti takut fotonya kesebar-sebar
kalo cowok jelek males difoto
cewek-cewek bilang: nggak tega ngeliat hasil cetakannya ya?...

kalo cowok ganteng naek motor gede
cewek-cewek bilang: wah kayak lorenzo lamas...bikin lemas...
kalo cowok jelek naek motor gede
cewek-cewek bilang: awas!! mandragade lewat...

kalo cowok ganteng nuangin air ke gelas cewek
cewek-cewek bilang: ini baru cowok gentlemen
kalo cowok jelek nuangin air ke gelas cewek
cewek-cewek bilang: naluri pembantu, emang gitu...

kalo cowok ganteng bersedih hati
cewek-cewek bilang: let me be your shoulder to cry on
kalo cowok jelek bersedih hati
cewek-cewek bilang: cengeng amat!!...laki-laki bukan sih?

Kalo cowok ganteng baca postingan ini
langsung ngaca sambil senyum-senyum kecil, lalu
berkata "life is beautifull"

kalo cowok jelek baca e-mail ini,
Frustasi, ngambil tali jemuran, trus triak
sekeras-kerasnya
"HIDUP INI KEJAAAAMMM....!!!"

Tanya Jawab dengan Ustadz Aam: Nikah

Tanya Jawab dengan Ustadz Aam: Nikah Saat Kuliah

Ustadz, ada sejumlah kawan saya di kampus yang menikah lebih dini (nikah saat kuliah) dengan alasan untuk menghindarkan diri dari dosa. Bagaimana tanggapan ustadz terhadap persoalan ini?

Viany

Jawab : Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis dalam satu ikatan keluarga. Al Qur’an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan mistaqan ghalizhan, artinya perjanjian kokoh/agung yang diikat dengan sumpah.

Al Qur’an menggunakan istilah mitsaqan ghalizhan minimal dalam tiga konteks. Pertama, konteks ikatan pernikahan seperti disebutkan dalam Q.S. An-Nisa 4:21. Kedua, konteks perjanjian Allah swt. dengan Bani Israil (Q.S. An-Nisa 4:154). Ketiga, konteks perjanjian Allah swt. dengan para Nabi-Nya bahwa mereka akan menyampaikan ajaran agama kepada umatnya masing-masing (Q.S. Al Ahzab 33:7).

Menganalisis konteks mistaqan ghalizhan yang digunakan Al Qur’an, bisa ditarik benang merah bahwa ikatan pernikahan itu nilai keagungannya sekaliber perjanjian antara Allah swt dengan Bani Israil dan selevel dengan perjanjian antara Allah swt. dengan para Nabi-Nya.

Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (ticket hubungan sexual yang sah), tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketaqwaan. Karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang; kematangan fisik, psikis, maupun spritual.

Persipan matang itu diperlukan karena begitu terjadi ikatan pernikahan, maka akan lahir hak dan kewajiban suami-isrri. Hak dan kewajiban ini orientasi dominannya tidak hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, tapi justru yang paling dominan adalah orientasi pada aktualisasi ketakwaan.

Akhir-akhir ini mengemuka fenomena mahasiswa yang menjalankan pernikahan lebih dini dengan niat untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Ccara ini diyakini sebagai jalan keluar terbaik untuk menghindarkan diri dari gaya hidup sex bebas (free sex).

Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi niat (menjauhi zina), hal itu sudah sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji …” (Q.S. Al-Isra 17:32). Masalahnya, apakah pernikahan yang begitu agung cukup hanya berbekal niat menjauhi zina? Kalau demikian, kedudukan institusi nikah menjadi sangat sempit; sekedar ticket hubungan sexual!

Fakta empirik menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa secara material masih mempunyai ketergantungan yang kuat pada orang tuanya. Jadi cukup logis kalau ada hipotesis yang menyatakan bahwa memasuki jenjang pernikahan semasa kuliah hanya akan menambah beban orang tua, juga hak dan kewajiban suami-isrri yang merupakan konsekuensi logis dari akad nikah tidak akan terlaksana secara sempurna.

Saat dikedepankan, hipotesis ini sering dibantah dengan pernyataan bahwa yang memberi dan mengatur rizki itu Allah swt., bukan manusia, kalau kita menikah dengan niat karena Allah pasti Allah akan memberikan rizki-Nya! Seraya mengutip ayat yang berbunyi, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu … Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberiannya dan Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur 24:32)

Keyakinan bahwa Allah sebagai pengatur dan pemberi rizki memang benar, bahkan ada ayat yang lebih tegas lagi, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya…” (Q.S. Huud 11:6). Masalahnya, apakah rizki itu akan datang begitu saja tanpa usaha? Bukankah seekor semut pun saat akan mengisi perutnya harus berusaha keluar dari sarangnya?

Jadi, firman Allah dalam Q.S. An-Nuur 24:32 harus difahami secara holistik, tidak parsial dan sporadis. Ayat ini jangan dijadikan landasan untuk berbuat nekad, tapi justru harus disikapi dengan penuh perhitungan, artinya kalau secara material belum mampu, jangan dipaksakan hanya dengan berbekal keyakinan bahwa Allah swt. pemberi rizki.

Bersikap realistislah, kalau memang kita masih punya ketergantungan material kepada orang tua yang cukup kuat, alangkah bijaksana kalau pernikahan itu ditangguhkan dulu dengan tetap menjaga kesucian diri (menghindari dosa). Hal ini bisa dibaca pada ayat berikutnya “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (Q.S. Annur 24:34)

Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. pernah menasihati orang-orang yang belum menikah. Sabdanya, “Wahai pemuda! Siapa di antara kamu yang sudah mencapai ba’ah (mampu menikah), maka menikahlah karena itu akan lebih menjaga mata dan kehormatanmu. Dan siapa yang belum mampu, maka shaumlah karena shaum merupakan benteng (dari perbuatan zina).”

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena shhaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan.

Oleh karena itu, para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum,

Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon isrri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumuskannya pada zina.
Sunnah (thatawwu’) menikah bagi orang yang sudah punya calon isrri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.
Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon isrri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.
Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemashlahatan (kebaikan).
Kedudukan hukum yang beragam ini mengisyaratkan bahwa hukum pernikahan itu sangat kondisional. Oleh karena itu, sebelum memasuki pernikahan, kita harus mempertimbangkan kondisi yang akan dihadapi alias berpikir secara matang, jangan menyederhanakan masalah.

Kalau kita masih berstatus mahasiswa, untuk kehidupan keseharian masih mengandalkan wesel dari orang tua sebesar Rp. 150.000 per bulan, kuliah baru semester empat, IPK di bawah 2,5, dst. Maka alangkah bijaksana kalau menangguhkan dulu pernikahan sambil mendewasakan diri, dan carilah jalan keluar yang positif. Belajar yang sungguh-sungguh agar cepat selesai kuliah, cepat bekerja, cepat dewasa, dan bisa mandiri (dalam terminolgi hadits disebut al-ba’ah).

Dengan cara seperti ini, Insya Allah bahtera rumah tangga bisa dijalani dengan persiapan yang matang. Suatu aksioma menyatakan, sesuatu yang dihadapi dengan persiapan matang hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan tanpa persiapan.

Wallahu A’lam Bishawab

Sumber: http://www.percikan-iman.com/modules.php?name=Datanya&op=detail_atanya&id=84

Cincin Pernikahan

Hasil tanya jawab di Syariahonline.com


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Ustadz....

Apakah di dalam sayariat Islam ttg pernikahan di kenal cincin pernikahan?
apakah keutamaan cincin pernikahan tersebut pada acara pernikahan, apakah sekedar simbol, adat atau syariat?

Wassamu'alaikum Wr.Wb.


Ikhwan

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.


Cincin Dalam Islam

Dahulu Rasulullah SAW pernah memiliki cincin yang disebut khatam. Dalam bahasa arab, kata khatam itu juga bermakna stempel yang digunakan untuk menyetempel surat resmi. Dan memang fungsi cincin Rasulullah SAW adalah juga untuk menyetempel surat-surat yang ditujukan kepada para raja dunia. Surat itu adalah surat yang mengajak para raja dan umat manusia sedunia untuk memeluk agama Islam.

Meski dunia arab saat itu tidak mengenal stempel, namun sesuai dengan tata pergaulan administrasi international yang berlaku di masa itu, bahwa semua surat resmi kenegaraan harus ada stempelnya, maka Rasulullah SAW membuat cincin atau stempel khusus yang bertuliskan Muhammad Rasulullah.

Cincin Kawin

Sedangkan urusan cincin kawin bukanlah bagian dari syarat pernikahan. Kita tidak menemukan adanya budaya tukar cincin dalam literatur Islam khususnya dalam masalah pernikahan. Satu pun kitab fiqih tidak menyebutkan keharusan untuk menggunakan cincin kawin dalam pernikahan.

Bahkan sebagian ulama memakruhkan cincin kawin dan tukar cincin saat menikah, karena itu merupakan produk dan budaya dari luar Islam.

Dalam nikah secara Islam, yang dibutuhkan adalah mas kawin. Mas kawin sendiri sekedar istilah dan tidak harus emas bentuknya. Karena dalam istilah bahasa arabnya disebut mahar, nihlah, shodaq, ajr, aridhah, �aqr dan seterusnya.

Meski demikian, bila mahar itu mau diberikan dalam bentuk cincin, pada hakikatnya tidak ada larangan. Bahkan meski terbuat dari emas sekalpiun. Asalkan cincin emas itu tidak dipakai oleh pengantin laki-laki.

Sebab laki-laki dalam Islam diharamkan memakai perhiasan yang terbuat dari emas. Rasulullah SAW telah melarang emas dan juga sutera bagi laki-laki baik saat menikah atau sehari-sehari.

Cincin kawin tidak dikenal dalam syariat Islam sebagai bagian dari ritual pernikahan. Sehingga lebih merupakan kebiasaan adat tradisi masyarakat setempat. Sebagian ulama mengharamkannya karena dianggap termasuk perilaku meniru orang kafir. Sebagian lagi memandang tidak ada masalah karena meski tidak lahir dari syariat Islam, tidak ada salahnya menjalankan suatu hal yang sudah ada di tengah masyarakat selama tidak ada larangan secara langsung dan eksplisit akan hal itu dari nash-nash yang qath`i.

Lagu dan Musik dalam Islam

Lagu dan Musik Suatu masalah yang menimpa mayoritas umat manusia termasuk umat Islam adalah masalah nyanyian dan musik. Terlepas dari hukum nyanyian dan musik tersebut, mayoritas umat manusia dan juga umat Islam menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar. Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.

Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur�an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda:


"َّﻥﺇ َّﻥﺇَﻭ ٌﻦِّﻴَﺑ َﻝﻼَﺤﻟﺍ ﺎﻤُﻬَﻨْﻴَﺑَﻭ ،ٌﻦِّﻴَﺑ َﻡﺍَﺮَﺤﻟﺍ َّﻦُﻬُﻤَﻠْﻌَﻳ ﻻ ٌﺕﺎﻬِﺒَﺘْﺸُﻣ ِﻦَﻤَﻓ ،ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ ٌﺮﻴِﺜَﻛ ﺃﺮﺒَﺘْﺳﺍ ِﺕﺎﻬُﺒُّﺸﻟﺍ ﻰَﻘَّﺗﺍ ْﻦَﻣَﻭ ،ِﻪِﺿْﺮِﻋَﻭ ِﻪِﻨﻳِﺪِﻟ ﻲﻓ َﻊَﻗَﻭ ِﺕﺎﻬُﺒُّﺸﻟﺍ ﻲﻓ َﻊَﻗَﻭ ،ِﻡﺍَﺮَﺤﻟﺍ

Artinya: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT. tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari'ah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.

Bagaimana Islam berbicara tentang nyanyian dan musik ? Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta'ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur'an, Sunnah yang shahih dan Ijma. Tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.


Sebelum membahas pendapat para ulama tentang dua masalah tersebut dan pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua masalah tersebut. Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:

ﻞﺻﻷﺍ ﺔﺣﺎﺑﻹﺍ ﻲﻓ ءﺎﻴﺷﻷﺍ

Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah). Hal ini sesuai firman Allah SWT. :

َﻮُﻫ ﻲِﻓ ﺎَﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻖَﻠَﺧ ﻱِﺬَّﻟﺍ ﺎًﻌﻴِﻤَﺟ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍ

Artinya:"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu" (QS Al-Baqarah29 ).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. bersabda:


"َّﻥﺇ َﺽَﺮَﻓ َّﻞَﺟَﻭ َّﺰَﻋ َﻪَّﻠﻟﺍ ،ﺎﻫﻮُﻌِّﻴَﻀُﺗ ﻼَﻓ َﺾِﺋﺍَﺮَﻓ ﻼَﻓ ًﺍﺩﻭُﺪُﺣ َّﺪَﺣَﻭ َءﺎﻴْﺷﺃ َﻡَّﺮَﺣَﻭ ،ﺎﻫﻭُﺪَﺘْﻌَﺗ َﺖَﻜَﺳَﻭ ،ﺎﻫﻮُﻜِﻬَﺘْﻨَﺗ ﻼَﻓ ْﻢُﻜَﻟ ًﺔَﻤْﺣَﺭ َءﺎﻴْﺷﺃ ْﻦَﻋ ﺍﻮُﺜَﺤْﺒَﺗ ﻼَﻓ ٍﻥﺎﻴْﺴِﻧ َﺮْﻴَﻏ ﺎﻬْﻨَﻋ "

Artinya:"Sesungguhnya Allah Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya)" (HR Ad-Daruqutni).


ُﻝَﻼَﺤْﻟﺍ ِﻪِﺑﺎَﺘِﻛ ﻲﻓ ﻪﻠﻟﺍ ّﻞَﺣﺃ ﺎﻣ . ﻲﻓ ﻪﻠﻟﺍ َﻡّﺮَﺣ ﺎﻣ ُﻡﺍَﺮَﺤْﻟﺍﻭ ُﻪْﻨَﻋ َﺖَﻜَﺳ ﺎَﻣَﻭ ،ِﻪِﺑﺎَﺘِﻛ ُﻪﻨﻋ ﻰﻔﻋ ﺎّﻤِﻣ َﻮُﻬَﻓ

Artinya: "Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima'afkan" (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik. Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:

1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.

2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.

3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.




Madzhab Maliki, asy-Syafi'i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru�ah. Adapun menurut asy-Syafi'i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:" Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati".

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:

1- ﺮﺤﻟﺍ ﻥﻮﻠﺤﺘﺴﻳ ﻡﺍﻮﻗﺃ ﻲﺘﻣﺃ ﻦﻣ ﻦﻧﻮﻜﻴﻟ ﻑﺯﺎﻌﻤﻟﺍﻭﺮﻤﺨﻟﺍﻭ ﺮﻳﺮﺤﻟﺍﻭ

Artinya:"Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari)


2 - ﻊﻓﺎﻧ ﻦﻋ "ﺕﻮﺻ ﻊﻤﺳ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻥﺃ ﻪﻴﻧﺫﺃ ﻲﻓ ﻪﻴﻌﺒﺻﺍ ﻊﺿﻮﻓ ﻉﺍﺭ ﺓﺭﺎﻣﺯ ﺎﻳ ﻝﻮﻘﻳ ﻮﻫﻭ ﻖﻳﺮﻄﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﺘﻠﺣﺍﺭ ﻝﺪﻋﻭ ﻰﺘﺣ ﻲﻀﻤﻴﻓ ﻢﻌﻧ ﻪﻟﻮﻗﺄﻓ ﻊﻤﺴﺗﺃ ﻊﻓﺎﻧ ﻰﻟﺇ ﻪﺘﻠﺣﺍﺭ ﻝﺪﻋﻭ ﻩﺪﻳ ﻊﻓﺮﻓ ﻻ ﺖﻠﻗ ﻰﻠﺻ ﻪّﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺖﻳﺃﺭ ﻝﺎﻗﻭ ﻖﻳﺮﻄﻟﺍ ﻉﺍﺭ ﺓﺭﺎﻣﺯ ﻊﻤﺳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻟﺁﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪّﻠﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﻞﺜﻣ ﻊﻨﺼﻓ ". ‏

Artinya:" Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:"Wahai Nafi' apakah engkau dengar?�. Saya menjawab:"Ya". Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :"Tidak". Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini" (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).



3 - ﻦﻴﺼﺣ ﻦﺑ ﻥﺃ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ "ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺃ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻟﺁﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪّﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪّﻠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻑﺬﻗﻭ ﺦﺴﻣﻭ ﻒﺴﺧ ﺔﻣﻷﺍ ﻩﺬﻫ ﻲﻓ ﻰﺘﻣﻭ ﻪّﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍ ﻦﻣ ﻞﺟﺭ ﻑﺯﺎﻌﻤﻟﺍﻭ ﻥﺎﻴﻘﻟﺍ ﺕﺮﻬﻇ ﺍﺫﺇ ﻝﺎﻗ ﻚﻟﺫ ﺭﻮﻤﺨﻟﺍ ﺖﺑﺮﺷﻭ ".

Artinya: Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:" Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:"Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?� Rasul menjawab:" Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan" (HR At-Tirmidzi).

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama'ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi'i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja'far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya'bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:" Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:" Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam". Berkata Ibnu Zubair:" Dengan ini akal seseorang bisa seimbang". Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta�akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro�(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi�in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur�an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang.


Kedua: Alat Musik yang Digunakan.


Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
ْﻦَﻣ َﻮُﻬَﻓ ٍﻡْﻮَﻘِﺑ َﻪّﺒَﺸَﺗ ْﻢُﻬْﻨِﻣ

Artinya:"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka" (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

َءﺎَﺴِﻧﺎَﻳ ٍﺪَﺣَﺄَﻛ َّﻦُﺘْﺴَﻟ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ِﻥِﺇ ِءﺎَﺴِّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ َﻦْﻌَﻀْﺨَﺗ ﺎَﻠَﻓ َّﻦُﺘْﻴَﻘَّﺗﺍ ﻱِﺬَّﻟﺍ َﻊَﻤْﻄَﻴَﻓ ِﻝْﻮَﻘْﻟﺎِﺑ َﻦْﻠُﻗَﻭ ٌﺽَﺮَﻣ ِﻪِﺒْﻠَﻗ ﻲِﻓ ﺎًﻓﻭُﺮْﻌَﻣ ﺎًﻟْﻮَﻗ (32)

Artinya:"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik"(QS Al-Ahzaab32 )

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.

Hukum Tunangan

Hasil tanya Jawab di Syariah.com

Pertanyaan:


Assalamu‘alaikum Pak Ustadz,
Apakah Islam mengatur tunangan? Apa ada hukumnya tentang tunangan? Apakah hal ini pernah ada di zaman Rasulullah dulu?
Terima kasih atas jawabannya.

Supri


Jawaban:

Assalamu‘alaikum warahamatullahi wabarakatuh

Tunangan bahasa Fiqihnya adalah Khitbah atau meminang. Khitbah atau meminang adalah proses selanjutnya setelah ikhtiyar dan ta’aruf. Dalam kitab hadits maupun fiqh disebutkan bahwa melihat dilakukan saat khitbah. Bab melihat pasangan dimasukkan ke dalam bab khitbah. Dan ketika yang dilihat tidak cocok maka secara spontan calon mempelai baik pria atau wanita dapat menolak secara langsung atau melalui perantara, seketika atau dalam beberapa hari setelah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq:”Khitbah adalah muqaddimah (permulaan) pernikahan dan disyari’atkan Allah sebelum terjadinya aqad nikah agar kedua calon pengantin mengenali calon pasangannya satu sama lain. Sehingga ketika seseorang maju pada proses aqad nikah dia dalam kondisi telah memperoleh petunjuk dan memiliki kejelasan (tentang calonnya) “.

Masalah melihat dan ta’aruf apakah saat khitbah atau sebelumnya, keduanya dapat dilaksanakan dan ini adalah masalah teknis, sehingga dapat dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan tradisi daerah, wilayah atau negara masing-masing. Untuk umat Islam di Indonesia yang cenderung pada perasaan, sulit menolak calon pasangannya setelah terjadi khitbah. Sehingga lebih baik proses melihat atau ta’aruf didahulukan sebelum proses khitbah. Begitu juga terkait dengan ta’aruf tentang akhlak, sifat dan prilaku sebaiknya sebelum khitbah. Sehingga ketika terjadi proses khitbah atau meminang, semua telah jelas dan tergambar tentang fisik dan akhlaknya.

Dalam khitbah dibolehkan saling memberi hadiah. Tetapi memberi hadiah itu bukanlah suatu yang wajib. Statusnya sama seperti memberi hadiah di waktu-waktu yang lain. Ada juga tradisi yang disebut tukar cincin. Tukar cincin, merupakan tradisi Barat yang tidak dikenal dalam Islam, dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sahabat dan salafu shalih tidak pernah melaksanakannya.

Suatu kesalahan yang sering terjadi di masyarakat, banyak diantara mereka yang menganggap bahwa ketika sudah khitbah seolah-olah sudah menikah. Sehingga kerap kali melakukan hal-hal yang dilarang agama seperti pergi berdua, bergandengan tangan atau yang lebih dari itu. Semuanya diharamkan dalam Islam dan hendaknya calon pengantin jangan merusak kesucian pernikahan dengan segala sesuatu yang di haramkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Khitbah adalah proses muqaddimah untuk menikah dan belum terjadi pernikahan. Oleh karena itu untuk menghindari kemaksiatan, dianjurkan agar jarak antara waktu khitbah dan aqad nikah tidak terlalu lama sehingga calon istri tidak berada dalam kondisi lama menanti.

Wallahu A‘lam Bishawaab

(Dijawab oleh tim Ustadz Syariah.com)

Boleh Berduaan jika Terawasi...!!

Kutipan dari buku Muhammad Shodiq, Wahai Penghujat `Pacaran Islami'
(Surakarta: Bunda Yurida, Desember 2004), Bab 3, akhir pasal ketiga:

"`Awaslah kalian masuk ke tempat wanita.' Seorang pria Anshar bertanya, `Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan ipar [dan semisalnya dari kalangan kerabat suami, seperti anak paman dan lainnya]?' Beliau menjawab, `Ipar itu maut.'" (HR Bukhari dan Muslim) "Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya." (HR Bukhari) "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir janganlah ia berduaan dengan lawan-jenis yang tidak didampingi muhrimnya. Sebab, bila demikian, syetanlah pihak ketiganya." (HR Ahmad)

Mungkin atas dasar sabda-sabda itu, sebagian orang mengharamkan segala macam aktivitas berduaan pria-wanita yang tidak ditemani muhrim. Ada yang berpandangan, ngobrol berdua dan jalan-jalan berdua merupakan "perbuatan dosa" (JNC: 173). Pergi berdua ke tempat pengajian pun, menurut mereka, tergolong "berkhalwat" yang terlarang
(KHP: 153). Kata mereka pula, berkencan (berjanji untuk bertemu) sudah tergolong "maksiat" (PDKI: 69).

Kita terimakah pandangan mereka itu? Tidak! Mengapa? Karena, sebagaimana dalam persoalan ikhtilat dan asmara pranikah, pemahaman mereka terhadap hadits-hadits itu belum memadai. Kali ini, mereka belum menghimpun semua hadits (shahih dan hasan) mengenai `berduaan'.
Padahal, sebagaimana tersebut di bawah, ada hadits-hadits shahih lain
yang menunjukkan, ada kalanya berduaan itu tidak tercela.

Dapatkah dua macam hadits yang kelihatannya bertentangan tersebut dijamak (dikompromikan)? Ya. Mengapa? Karena yang satu (yaitu yang menunjukkan larangan berduaan) bersifat `âm (umum), sedangkan yang lainnya (yaitu yang menunjukkan bolehnya berduaan) bersifat khâs (khusus). Menurut kaidah ushul fiqih, dalam penjamakan begitu, dalil yang khâs lebih diutamakan daripada yang `âm. (Lihat MTKDS: 134-146.)
Hasilnya, dapat kita nyatakan bahwa kita boleh berduaan dalam keadaan
tertentu, tetapi tidak boleh berduaan dalam keadaan lain.

Salah satu hadits shahih yang menunjukkan bolehnya kita berduaan adalah sebagai berikut: Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw, lalu beliau berduaan dengannya dan berkata:
"Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai." (HR Bukhari dan Muslim) Melihat hadits ini, Imam Bukhari menyatakan, kita boleh berkhalwat "di dekat orang banyak" (KW2: 124).

Maksudnya, menurut Hafizh Ibnu Hajar, Nabi saw. tidak berkhalwat dengan nonmuhrim, kecuali bila keadaan mereka berdua tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat terdengar orang lain, walaupun orang lain itu tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka perbincangkan (FBSSB11: 246-247). Jadi,
bukanlah tak berdasar jika kita nyatakan: Kita boleh berduaan bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang `kecil' sekalipun, "akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan ini". (MCMD: 130)

Hadits tersebut juga menunjukkan, dalam pemahaman Ibnu Hajar, bahwa ngobrol berdua dengan nonmuhrim secara rahasia (isinya tidak tertangkap orang lain) pada dasarnya tidak tercela. Sekalipun obrolan itu berisi "curhat masalah pribadi" (JNC: 43), itu pun masih tidak tercela. Apalagi, ada hadits shahih lain tentang curhat Ummu Darda
kepada Salman, saudara-angkat Abu Darda (suami Ummu Darda):
"Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: `Ada apa denganmu?' Ummu Darda menjawab: `Saudaramu, Abu Darda, tidak begitu peduli pada dunia.' ...." (HR Bukhari)
Tidak tercelanya curhat masalah pribadi dan khalwat yang terawasi itu tersirat pula dalam hadits shahih berikut ini.

Ada seorang wanita punya persoalan yang mengganjal pikirannya. Dia [menemui Nabi saw. lalu] berkata,
"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ada perlu denganmu." Nabi saw. menjawab, "Wahai Ummu Fulan! Pilihlah jalan mana yang kamu inginkan, sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu!" Kemudian beliau pergi bersama perempuan itu melewati
satu jalan sampai keperluannya selesai. (HR Muslim)

Di samping tentang curhat dan berduaan, hadits yang baru saja kita baca ini mengandung peristiwa kencan juga. Dengan demikian, kencan (saling bertemu di tempat yang disepakati) bukanlah khalwat yang terlarang. Bahkan, kendati kencan itu berlangsung antarlawan-jenis yang dilanda asmara, itu pun tidak tercela. (Lihat pula hadits yang disebut di Bab 2, yaitu yang mengisahkan percintaan seorang pemuda
dengan seorang gadis Hubaisy.)

Namun, tentu saja, syarat `terawasi' harus terpenuhi. Jika tidak, maka kita harus memperhatikan nash-nash yang telah kita simak tadi, yaitu yang menunjukkan larangan khalwat. Kalau berduaan "tanpa sepengetahuan orang lain" (PIA: 37), maka khalwat itu menjadi terlarang.

Daftar Pustaka

FBSSB
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî

JNC
Oleh Solihin dan Iwan Januar, Jangan Nodai Cinta (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)

KHP
Robi'ah Al-Adawiyah, Kenapa Harus Pacaran?! (Bandung: DAR! Mizan, 2004)

KW
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, enam jilid, terj. Chairul Halim & As'ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997-1998)

MCMD
Aisha Chuang, Manajemen Cinta Musim Dingin: Ada ukhuwah abang disayang, tak ada ukhuwah abang ditendang (Surakarta: Bunda Yurida,
2003)

MTKDS
Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara',terj. Muslich (Bangil: Al-Izzah, 2001)

PDKI
Abdurrahman Al-Mukaffi, Pacaran dalam Kacamata Islam (Jakarta: Media Da'wah, 2004)

PIA
Abu Al-Ghifari, Pacaran yang Islami Adakah? (Bandung: Mujahid Press,2004)